Mencari Benang Merah Negara Maritim Yang Hilang, Bersama Capt. Harry Hilliard -->

Iklan Semua Halaman

Mencari Benang Merah Negara Maritim Yang Hilang, Bersama Capt. Harry Hilliard

14 Juli 2020

Pembangunan kemaritiman Indonesia masih mencari bentuk terbaiknya untuk bisa mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat negeri ini. Dari kacamata ahli dan pelaku sejarah, bangsa yang dahulu terkenal sebagai bangsa pelaut sudah jauh kehilangan arah dan referensi bagaimana menjadikan maritim sebagai nafas kehidupan tanah air Nusantara ini.

Penggunaan kata tanah air saja melambangkan bagaimana pentingnya arti air bagi Indonesia, sementara Nusantara yang diambil dari kata Nusa di Antara air atau pulau diantara air menandaskan bahwa kita adalah manusia yang hidup dipulau pulau.

Redaksi eMaritim akan membuat beberapa seri dari diskusi dengan pakar dan pelaku sejarah maritim Indonesia, sekaligus membuat rangkuman dari diskusi tersebut. Untuk kali ini ada beberapa kata kunci (italic bold) yang sangat baik dipertimbangkan untuk dilakukan demi memajukan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.

Dalam sebuah diskusi dengan Organisasi Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia (INNI) 2 hari lalu, eMaritim berkesempatan mewawancarai Capt Harry Hilliard (84 tahun) yang merupakan Wakil Ketua Dewan Pakar INNI. Captain kelahiran Banggai 1936 ini, sangat fasih menjelaskan sejarah pelayaran Indonesia yang patut diketahui generasi millenial, berikut cuplikannya;

eMaritim;
Sejauh apa budaya maritim mengakar di bangsa ini?

HH;
Selama berabad-abad sejarah Nusantara atau yang juga disebut tanah Air yang berpenduduk anak negeri sudah menyatu dengan budaya bahari dengan berbagai jenis kelengkapan berlayar tradisional yang mandiri mempersatukan seluruh pantai, teluk, alur sungai dan tepian danau dengan tenaga yang tersedia terutama arah angin sesuai musimnya. Ini sudah menjadi pengetahuan bahkan naluri nenek moyang kita pelaut tangguh itu.

eMaritim;
Jika sudah demikian mengakar, kenapa kapal tidak dikategorikan sebagai infrastruktur sebagai kelengkapan negara?

HH;
Adalah rejeki penjajah Eropa menemukan Nusantara, dan mengkategorikan pelayaran tradisional sebagai dasar infrastruktur pelayaran pantai atau kustvaart yang akhirnya diadopsi dunia menjadi cabotage. Sayangnya sejak kemerdekaan, pelayaran traditional terhapus dan digantikan dengan pelayaran rakyat yang ternyata tidak mandiri karena harus import mesin yang mahal.

eMaritim;
Apa kelebihan pelayaran tradisional menurut anda?

HH;
Secara jelas yang menjadi kekuatan dari pelayaran tradisional adalah kemandirian produk lokal secara menyeluruh. Coba kalau bangsa ini menunggu sampai kita mampu membuat mesin sendiri, baru mengganti pelayaran tradisional, maka hasilnya akan lain.

eMaritim;
Apa rekam jejak pelayaran tradisional yang fenomenal?

HH;
Saya masih ingat diawal karir saya sebagai pelaut masih ada copra race yang sangat tradisional dan legendaris. Kapal tradisional sudah menjadi first carrier (cabotage) dan sebagai dasar dari muatan lanjutan dalam konsep through BL yang kemudian hancur karena menghilangnya first carrier. Pelayaran tradisional yang dimulai dari pantai (prauwen veem) dan ratusan tempat berlabuh (ankerplaatsen) hilang karena dijadikan pelabuhan yang terbuka untuk kegiatan asing.

eMaritim;
Jadi semestinya Kustvaart (pelayaran pantai) terjaga dan terkoneksi dengan binnen vaart (pelayaran pedalaman) dan zeevaart nya (pelayaran samudera), sayang ada missing link dalam pemahaman pelayaran Indonesia ya?

HH;
Mesti begitu, dari banyak negara di Asia yang terimbas dan terpengaruh oleh peranan maritim VOC selama hampir 3 abad, Cina dan Jepang sudah mendahului mengadopsi hukum dagang Belanda jauh sebelum Brussel convention 1924 (yang mengadopsi yang Haque Rules). Pelayaran tradisional mereka menjadi modern dan sangat mandiri, bukannya dihapus secara legislasi seperti di Indonesia.

eMaritim;
Soal Kustvaart?

HH;
Binnen vaart sudah terkoneksi dengan Kustvaart karena kapal coaster yang openshelter deck hanya boleh berlabuh disungai untuk berperan menjadi tender bagi kapal-kapal sungai. Dengan dua sisi kapal yang digunakan secara aktif, maka kapal hemat waktu berlabuh. Saat itu perusahaan jaringan nusantara dilarang bangun dermaga disungai dan ditempat berlabuh (anker plaatsen) karena akan mematikan usaha rede lokal. Masalahnya dengan banyak pelabuhan sandar yang hanya bekerja satu sisi (sisi darat), maka biaya angkut kapal-kapal menjadi sangat tinggi dan trip nya menjadi berkurang, sayangnya tidak ada yang peduli.

eMaritim;
There's a missing link in understanding our maritime history. Sayang sekali ya?

HH;
Harus diingat bahwa menunggu untuk sandar bukan keinginan kapal karena biaya jadi mahal, makanya pada awal operasi kustvaart kegiatan di ankerplaatsen disebut Boom Zaaken (kegiatan dibawah pohon), bandingkan dengan biaya pelabuhan sekarang yang daftarnya bertumbuh terus.

eMaritim;
Fungsi Pelabuhan yang semestinya sebagai multiplier effect bagi kemajuan ekonomi nasional bersama-sama kapal menjadi berubah. Jadi sebenarnya kelengkapan negara adalah kapal itu sendiri bukannya pelabuhan. bukankah begitu Capt?

HH;
Roh maritim adalah kesatuan kapal yang diawaki oleh pelaut dengan bendera suatu negara dimana ada pangkalannya atau home port. Semua negara maritim masih bertahan dengan Roh maritim sebagai kelengkapan negara. Negara tanpa peran bendera maka bukan negara maritim, walaupun ada negara kaya dengan peran maritim negatif (waver) karena kemajuan trafik virtual nilanya sudah puluhan kali lipat seaborne trade.

eMaritim;
Bagaimana dengan Indonesia?

HH;
Indonesia sudah jelas peran maritimnya negatif karena rasio trafiknya selalu negatif, tetapi kita memang bekas negara maritim dalam sejarahnya.

eMaritim;
Kita sebatas memenuhi kegiatan maritim domestik saja, dan itupun dalam keadaan yg serba kekurangan. Kapal beli bekas, galangan sepi pesanan, perbankan tidak melihat kapal sebagai kelengkapan negara, pelabuhan mencari untung sebanyak-banyaknya, pelaut belum bisa menyaingi Filipina atau China di kapal international, regulasi untuk kapal dibawah 500 gt bahkan lebih berat dari aturan IMO. Nah, menurut Capt Harry, apa saja yg harus dibenahi?

HH;
Negara maju sudah mulai meninggalkan national seaborne trade karena high cost akibat kekurangan pelaut dan juga akibat pertumbuhan pekerjaan virtual sailor dengan begitu banyaknya virtual carriers. Dahulu Bapindo dan PT.PANN pernah diupayakan sebagai pendorong pembangunan maritim tapi tidak bisa jalan karena kebijakan anggarannya lain arah.

eMaritim;
Soal peran penting pelaut buat negara bagaimana Capt?

HH;
Saya adalah pelaut yang menjabat Kepala Dinas Nautika di P.N. PELNI 1972 yang waktu itu masih dianggap flag carrier yang menggantikan KPM yang juga sebagai kelengkapan negara. Saat ini fungsi membangun martabat bangsa melalui kewibawaan pelaut dikapal dalam bela negara sudah terhapus, bukan lagi sebagai cadangan TNI AL, sudah disamakan dengan waver atau Flag of Convenience yang pelautnya di urus International Labour Oragnization (ILO). Saat ini pelaut bukan lagi memiliki fungsi ganda dimana bila negara krisis atau perang menjadi element of combat sementara dalam keadaan damai adalah sebagai public servant.

Dari pengalaman pelaku sejarah maritim Indonesia seperti Capt Harry Hillard, semoga kita bisa menggali pengalaman dan ilmunya untuk dapat dikembangkan dan dijadikan acuan, bagaimana haluan negara ini bisa kembali ke haluan sejati bangsa maritim.(bersambung)