Negara Maritim Versi Pelaut -->

Iklan Semua Halaman

Negara Maritim Versi Pelaut

25 Mei 2021

Catatan Capt Zaenal Arifin Hasibuan

Sekretaris Umum Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP)



Indonesia memiliki jumlah kapal niaga paling banyak di dunia berdasarkan pada data pendaftaran kebangsaan kapal. Sebagai Flag state (negara kebangsaan kapal), Indonesia memang pantas memiliki kapal sebanyak itu karena kita adalah negara kepulauan terbesar didunia dengan jumlah penduduk diatas 270, 2 juta jiwa (bps- sensus penduduk september 2020). 


UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mencatat kapal bendera Indonesia berjumlah 10.137 unit pada 2020 dengan total daya angkut berjumlah 25.574.000 DWT. Artinya jika di rata-rata kan, kapal Indonesia berukuran 2.520 ton DWT. Memang tidak sebesar kapal Singapura yang rata- rata memiliki DWT 41.000. Tapi memang seperti itulah kebutuhan Indonesia, punya banyak kapal yang bisa menjangkau pelabuhan kecil dan pulau-pulau di seluruh pelosok tanah air. Juga harus diingat bahwa data yang dimiliki UNCTAD itu mengambil dari IMO (International Maritime Organization), dimana kapal yang dicatat adalah kapal berukuran diatas 500 GT saja. Sementara menurut data Direktorat Perkapalan dan Kepelautan yang mengurusi Flag State kapal-kapal Indonesia, jumlah kapal yang terdaftar adalah sebanyak 40.181 unit dengan rincian kapal ukuran GT 7-174 sebanyak 20.821, kapal GT 175-499 sebanyak 7.592 dan kapal ukuran GT 500 keatas sebanyak 11.768. Inilah negara maritim yang seharusnya bisa menguasai perdagangan dunia dimulai dari pelayaran pedalaman, pelayaran pantai dan pelayaran laut dalamnya. 


Tapi ironisnya Indonesia masih bermasalah pada tingginya biaya logistik nasional, yang merupakan tertinggi di ASEAN sebesar 23,5% dari Produk Domestik Bruto. Tingginya biaya logistik nasional sebagian besar disebabkan oleh birokrasi yang berbelit-belit, tidak adanya kepastian hukum di perairan Indonesia, dan lemahnya tatanan bernegara Indonesia pada sektor maritim. Ketiga hal ini jika dirangkum menjadi satu kesatuan dan dibuat simpel akan mampu menjadi stimulus kemajuan dunia maritim Indonesia sebagai tulang punggung sistem logistik nasional dan cita-cita menjadi poros maritim dunia. Walaupun bunga perbankan dan pajak dibidang pendanaan kapal masih tinggi, Indonesia tetap terbukti memiliki kapal terbanyak di dunia. 


Jumlah kapal sebanyak 40.181 unit tersebut mayoritasnya dimiliki swasta dan perorangan, sementara pelayaran nasional masih terfokus kepada pengangkutan penumpang dan penyeberangan yang memang dibutuhkan sebagai pemersatu bangsa kepulauan ini, Indonesia jelas membutuhkan Pelni dan angkutan penyeberangan sampai akhir dunia. Walaupun ada perusahaan pemerintah yang bergelut dibidang perkapalan, tapi umumnya hanya mengurusi muatan yang memang menjadi usaha utamanya seperti Pertamina yang memiliki pelayaran Pertamina Trans Kontinental dan Pertamina International Shipping.


Disinilah kita mencoba melihat lebih dalam mengapa pelayaran Indonesia masih berkutat pada angkutan dalam negeri saja. Sekedar diketahui, bahwa angkutan ekspor dan impor Indonesia masih dikuasai pelayaran asing pada kisaran angka 95% dari total jumlah muatan yang diangkut. Tentu sebuah gambaran yang pahit jika melihat besarnya jumlah komoditas ekspor dan kebutuhan impor negara. 


Sekarang kita melihat kedalam tatanan bernegara Indonesia dibidang maritim. Sejak 2014, saat presiden Jokowi terpilih menjadi kepala negara, arah kebijakan maritim Indonesia sebenarnya sudah sangat baik. Hanya saja pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dirasa masih kurang gregetnya apabila kita memahami apa itu maritim yang sebenarnya. Bahwa didalam unsur maritim, peran kapal, pelaut, muatan kapal, pelabuhan, galangan kapal dan industri terkait lainnya sebagai pemeran utama masih kurang terakomodir dengan baik didalam Kemenko Maritim. Tatanan yang ada dibawah koordinator Kemenko Maritim saat ini adalah Kemenhub, ESDM, Kementerian Pariwisata dan KKP sebenarnya masih bisa diperbaiki atau dirombak untuk hasil yang lebih maksimal. 


Kalau dijabarkan satu persatu, kapal ada dibawah Ditjen Hubla, Pelabuhan (BUMN) ada di Kementerian BUMN dan Hubla, galangan kapal ada di Kementerian Perindustrian, pelaut ada di Ditjen Hubla dan setengahnya ada di Kemenaker, serta muatan kapal ada di Kementerian perdagangan, perindustrian, kehutanan, pertanian dan lain-lain. Sementara jika kita lihat tugas dan fungsi kementerian di bawah Kemenko Maritim yang mengurusi maritim hanya ada di Ditjen Hubla (tidak keseluruhan Kemenhub). Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata sama sekali tidak diamanahkan oleh undang-undang manapun untuk ikut memajukan bidang maritim. Bahwa mereka menggunakan kapal untuk sebagian kegiatannya, perannya hanya sebagai pengguna kapal. Sama saja dengan kementerian lainnya yang memiliki kapal, hanya sebagai pengguna. Selanjutnya KKP sendiri jelas memiliki domain berbeda dari maritim. KKP mengurus sumber daya alam, masyarakat pesisir dan nelayan. Sama sekali tidak berurusan langsung sebagai regulator body yang mengatur dunia maritim di Indonesia. 


Perbedaan atap kementerian antara kapal, galangan kapal, pelabuhan dan muatan inilah yang membuat birokrasi berbelit-belit di perairan Indonesia sehingga kita belum bisa keluar dari kolam susu ke samudera yang lebih luas. 


Memang benar bahwa pemerintah berusaha menjadi bagian dari multiplier effect kemajuan ekonomi Indonesia dengan membuat badan usaha pelabuhan sebagai tempat dimana kapal dan muatan bertemu. Tapi perbedaan plafon Kementeriannya yang membuat hal tersebut tidak jalan dengan baik. 


Banyaknya jumlah komoditas dan kapal Indonesia tentu menjamin usaha kepelabuhanan akan terus tumbuh dengan sendirinya. Tetapi selama yang diurus adalah muatan dalam negeri, muatan ekspor dan muatan impor untuk keperluan rakyat banyak, maka berapapun keuntungan pelabuhan adalah nilai tambah atas mahalnya biaya logistik nasional. Beda dengan pelabuhan Singapura yang mengurus muatan transit, keuntungan mereka jelas nyata atas muatan negara lain bukan untuk rakyatnya. Keuntungan yang didapat pelabuhan Indonesia bersifat semu karena pada akhirnya dibayar oleh masyarakat pengguna barang yang ditangani pelabuhan. 


Maka dari itu, niatan menjadi multiplier effect kemajuan ekonomi bangsa sering terdeviasi menjadi bisnis murni di pelabuhan- pelabuhan Indonesia. Terlepas pelabuhan itu dikelola BUMN ataupun swasta. Jika kita mengirim 1 kontainer 20 feet dari Jakarta ke Medan dengan skema door to door, biayanya ada di kisaran 10-15 juta rupiah, bagian yang diambil kapal tidak lebih dari 1-2 juta saja. Sisanya ada di biaya pelabuhan, trucking, pergudangan dan lain-lain. Kenapa mahal? Karena memang pengaturan dan kewenangan dibidang ini ada di banyak kementerian. Lain hal jika kapal, kepelautan, pelabuhan, galangan kapal ada di satu atap kementerian, pasti pengaturannya ada dalam satu komando. 


Bahkan sadar atau tidak, pemerintah berperan besar atas tingginya biaya logistik dengan memberikan keleluasaan kepada usaha pelabuhan untuk menarik uang jasa di perairan, daerah labuh jangkar, alur sungai sampai kolong jembatan sungai. Dengan bermodal ijin dan hak konsesi, jenis jasa apapun tentu bisa di ciptakan untuk mendapatkan pemasukan. Baik yang secara teknis tidak masuk akal, sampai yang masuk akal tetapi hanya mengutip uang jasa tanpa ada yang dilakukan. Harus jujur diakui, sebagian area wajib pandu hanya merupakan area wajib bayar, tetapi jasa pandunya tidak dilaksanakan. Disinilah pentingnya penataan kegiatan maritim dilakukan dalam satu atap kementerian teknis yang mengurus kegiatan maritim. Fokus pada efisiensi dan keselamatan. 


Padahal jika pemerintah jeli, ketimbang mengambil uang jasa dari logistik nasional lewat kegiatan kepelabuhanan, masih lebih baik pemerintah ikut menyelamatkan defisit dari neraca berjalan dibidang jasa transportasi yang setiap tahunnya tidak kurang dari 100 triliun rupiah. Caranya dengan menghidupkan kembali perusahaan BUMN dibidang pelayaran antar negara dan antar benua untuk menyelamatkan freight dari muatan captive Indonesia, selanjutnya pelan-pelan harus mulai menangani muatan kapal untuk negara lain. 


Jika sasaran pemerintah adalah kembali menjadi negara maritim atau menjadi bangsa pelaut, maka potensi-potensi dari sektor tersebut harus dijadikan target dengan Key Performance Indicator yang jelas. Kemenko Maritim sendiri (sekarang Kemenkomarves) yang menyatakan bahwa dari sektor pelaut saja Indonesia mendapat devisa sebesar 150 triliun, apabila ditambah 100 triliun dari penyelamatan penggunaan kapal asing yang diganti ke kapal Indonesia maka minimal ada angka 250 triliun yang bisa dikantongi. 


Belum lagi dengan diaturnya perputaran logistik nasional lewat kapal dan pelabuhan menjadi lebih efisien, maka dipastikan perfoma logistik dalam negeri akan meningkat signifikan. Tetapi siapa yang berani mengatakan bahwa sebaiknya Kemenkomarves mengeluarkan Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta mengeluarkan Kementerian Perhubungan dari dalam tubuhnya?. Sebagai gantinya, memasukkan kepelabuhanan, galangan kapal, komoditas ekpor impor kedalam urusannya bersama dengan kapal dan pelaut (satu kesatuan) yang merupakan bagian tak terpisahkan. Apa nama kementeriannya setelah itu, kita serahkan kepada pemerintah untuk mengolahnya. Peluang menjadi negara maritim yang mampu membuat kapal dengan TKDN yang tinggi, dan menjadi poros maritim dunia terlihat lebih mungkin dengan tatanan seperti itu. 


Yang lupa kita catat, bahwa jumlah kapal yang ada di data UNCTAD diatas sebagian besar merupakan kapal niaga yang dibeli bekas dari negara lain. Karena memang membuat kapal didalam negeri masih terlalu mahal sebagai akibat dari banyaknya kementerian yang terlibat didalam pengurusan soal kapal. Yang dibuat di dalam negeri kebanyakan adalah kapal ukuran dibawah 500 GT dengan biaya yang bisa didanai perbankan nasional(*)


Surabaya 25 May 2021.