![]() |
Ilustrasi foto: ABK Kapal Ikan Indonesia |
Greenpeace Asia Tenggara mengklaim bahwa 20 agen awak kapal Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari China, Hong Kong, Taiwan, Pantai Gading, dan Nauru diduga terlibat dalam praktik kerja paksa terhadap nelayan migran Indonesia.
Tuduhan tersebut disampaikan oleh organisasi tersebut dalam sebuah laporan yang dirilis pada 31 Mei, “ Kerja Paksa di Laut: Kasus Nelayan Migran Indonesia, ” dirilis dalam kemitraan dengan serikat pekerja migran Indonesia Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dalam wawancara dengan nelayan migran Indonesia yang dilakukan antara Mei 2019 dan Juni 2020, Greenpeace mengatakan 87 persen mengatakan mereka memiliki upah yang dipotong, 82 persen melaporkan kondisi kerja dan hidup yang kejam, 80 persen melaporkan ditipu untuk melakukan lebih banyak pekerjaan yang tidak dibayar atau dibayar rendah, dan 67 persen dilaporkan dimanfaatkan karena kurang pengetahuan tentang bahasa atau hukum setempat. Nelayan migran Indonesia selama Mei 2019 - Juni 2020 beserta pemberitaan media terkait.
Seorang pekerja mengatakan dia tidak dibayar sesuai kontraknya, dan pekerja lain yang diwawancarai mengeluh karena harus bekerja di laut terlalu lama.
Greenpeace mengatakan pihaknya berusaha untuk mengkonfirmasi temuannya dengan perusahaan perikanan yang terlibat, tetapi hanya tiga perusahaan yang menanggapi, dan masing-masing membantah semua tuduhan terhadapnya.
“Kasus dugaan kerja paksa untuk nelayan migran telah didokumentasikan dengan baik selama bertahun-tahun tanpa ada tanda-tanda membaik. Faktanya, kami melihat kasus dan pengaduan meningkat,” kata Koordinator Riset Kelautan Regional Greenpeace Asia Tenggara Ephraim Batungbacal.
Greenpeace menyerukan penerapan langkah-langkah untuk memerangi kerja paksa di laut, serta penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU).
Greenpeace mengatakan mereka mendokumentasikan 62 kasus kerja paksa yang dilaporkan di 45 kapal terpisah dalam laporan terbaru, yang jauh lebih tinggi dari 34 kasus yang ditemukan di 13 kapal dalam laporan 2019.
“Apakah melalui peningkatan kesadaran nelayan migran untuk melaporkan, atau memang, kasus kerja paksa yang lebih umum, angka-angka ini menunjukkan nelayan migran yang rentan terus dimanfaatkan,” kata Batungbacal. “Mereka yang terlibat dalam kerja paksa harus diadili dan ditangani dengan cepat di setiap segmen rantai pasokan. Kerja paksa dan kerja murah adalah 'biaya tersembunyi' dalam industri makanan laut, tapi kita tidak bisa menyembunyikannya lagi.”
Ketua SBMI Hariyanto menuduh aparat penegak hukum “kurang komitmen,” menuduh pihak berwenang Indonesia gagal menindaklanjuti berbagai keluhan kerja paksa yang diajukan melalui organisasi tersebut sejak 2014.
“Yang terjadi adalah waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan satu kasus dan membuat korban semakin rentan. Mereka lelah dan proses hukum menjauhkan mereka dari hak restitusi mereka. Ujung-ujungnya dua kali jadi korban,” kata Hariyanto. ( Toan Dao)
Sumber: SeafoodSource.Com