Tenggelamnya KMP Yunicee di Selat Bali, Saatnya Memperbaiki Aturan -->

Iklan Semua Halaman

Tenggelamnya KMP Yunicee di Selat Bali, Saatnya Memperbaiki Aturan

07 Juli 2021
(sumber; istimewa)

Operasi SAR korban KMP Yunicee yang tenggelam dekat pelabuhan Gilimanuk, Bali resmi dihentikan pada Senin (5/7/2021). Masih ada 17 penumpang yang dinyatakan hilang dan diduga terperangkap di badan kapal yang tenggelam.

Secara resmi ada 51 penumpang berhasil diselamatkan, dan 9 orang ditemukan meninggal dunia. Dengan 17 penumpang yang masih belum ditemukan, kemungkinan korban meninggal menjadi 26 orang.

Lalu pertanyaannya adalah apakah kerangka kapal Yunicee akan diangkat untuk mencari post mortem penyebab kecelakaan tragis tersebut atau mencari penumpang yang mungkin terperangkap?

Redaksi eMaritim.com mengajak kita semua melihat aturan yang ada di seputar kecelakaan KMP Yunicee, untuk sama-sama menjadi pembelajaran semua pihak.

UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran pada pasal 203 menyebutkan; Pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal dan muatannya paling lama 180 hari sejak tenggelam.

Sementara Peraturan Menteri Perhubungan nomor 71 tahun 2013 Tentang Salvage pada pasal 9 ayat 2 menyatakan ; apabila kerangka kapal dan/atau muatannya berada di perairan di luar Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan, maka ia ada di golongan 2, KMP Yunicee ada di lokasi kategori ini.

Lalu pasal 10 peraturan tersebut menjelaskan mengenai pembebasan pengangkatan kerangka kapal, tetapi hanya untuk area gangguan kategori 3, yaitu area laut lepas dengan kedalaman dibawah 100 meter. Maka secara aturan, kerangka kapal Yunicee harus diangkat. Tetapi melihat kedalaman 78 meter tempat tenggelamnya KMP Yunicee dan derasnya arus Selat Bali kemungkinan pemilik kapal dan asuransinya akan terbebas dari kewajiban mengangkat kerangka kapal. Dalam hal ini Asuransi H&M mengganti pemilik kapal dalam skema Constructive Total Loss, tanpa harus melakukan wreck removal.

Lalu mengapa kapal penyeberangan di Indonesia sering sekali mengalami kecelakaan? Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut, mulai dari desain kapal yang memang dibeli dalam keadaan bekas, usia kapal yang tua, area operasi asalnya yang berbeda dengan penyeberangan di Indonesia yang merupakan laut terbuka, tarif penyeberangan dibatasi pemerintah, sampai kepada masalah regulasi yang kacau di sektor yang satu ini.

Kapal diatur oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, bukan Ditjen Perhubungan Laut saja sudah membuat bingung masyarakat awam. Sementara untuk pelaku industri dan penggiat maritim, hal tersebut seperti melihat benang kusut dunia transportasi Indonesia. Karena urusan ODOL saja belum diselesaikan, sekarang ditambah lagi urusan kapal yang bukan habitat Ditjen Perhubungan Darat. Maka tidak heran masyarakat pengguna jasa yang terus menjadi korbannya.

Lalu mengapa Ditjen Perhubungan Darat bisa mengurusi kapal? Hal ini tak lepas dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan nomor 122 tahun 2018 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, dimana salah satu isinya memberikan perintah dan kewenangan kepada Ditjen Hubdat untuk mengurus keselamatan dan keamanan pelayaran sungai, danau dan penyeberangan. Selain tentunya mengurus trayek, penerbitan sertifikat dan memiliki sejumlah syahbandar versi darat.

Mari kita lihat kaji PM 122 ini dengan mengambil referensi aturan-aturan yang mengurusi pelayaran di Indonesia dan aturan lainnya.

Kita tahu bahwa peraturan menteri menurut Undang Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan pada pasal 8 ayat 1 harus dibuat berdasarkan delegasi aturan diatasnya atau dibuat berdasarkan wewenang menteri. Wewenang tersebut harus digunakan dengan tetap mengacu validitasnya pada aturan yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan.

Lalu apa aturan pelayaran yang paling tinggi di Indonesia? Jawabannya adalah Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Kita lihat pada Bab III tentang Ruang Lingkup berlakunya Undang-undang.
Pasal 4 berbunyi :
(1) Semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;

Lalu kita baca lagi definisi angkutan perairan pada Bab V Pasal 6;
Jenis angkutan di perairan terdiri atas: angkutan laut; angkutan sungai dan danau; dan angkutan penyeberangan.

BAB VIII. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran.
Bagian Kesatu Umum
Pasal 116
(1)  Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Oleh karena Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan termasuk dalam katagori Angkutan di Perairan sebagaimana diatur pada pasal 6 UU 17/2008 tentang Pelayaran, maka secara otomatis Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan tunduk kepada UU 17/2008 tentang Pelayaran yang merupakan tanggung jawab dari Ditjen Hubla.

Sementara jika kita melihat kepada area kerja dan desain kapal ferry sendiri, maka bisa jelas dilihat bahwa jenis kapal ini adalah yang paling rumit desain dan cara kerja nya. Selain trayek pendek yang bisa menyebabkan fatique dan kapal cepat rusak, kapal ferry terkenal memiliki stabilitas yang buruk karena tingginya badan kapal dan berat muatan yang ada. Berikut ini adalah hal-hal yang membuat kapal Ferry harus mendapat perhatian khusus secara teknis;

1.Stabilitas                                       
Secara mendasar kapal ini memiliki ruang muat yang tinggi, dimana kendaraan ditempatkan diatas deck yg jauh lebih tinggi dari tangki Double bottom, hal ini secara mendasar membuat Center of Gravity dari kapal ini sangat besar atau dengan kata lain kapal memiliki GM (titik Gravity ke titik Metacentric) yang kecil. Ditambah lagi dengan akomodasi dari penumpang dan crew yang bahkan lebih tinggi lagi,  maka stability selalu menjadi main concern untuk kapal jenis ini. Dikarenakan kecilnya stabilitas kapal , maka Momen Penegak (GZ / Righting Arm) juga kecil. Ini membuat kapal bereaksi lambat apabila mendapat external force seperti angin dan ombak.  

2.Free board yang kecil
Umumnya kapal RoRo memiliki free board yang kecil, ini disebabkan karena Axis dari Ramp door biasanya tidak jauh dari garis air, ini bertujuan agar kendaraan yang masuk dan keluar tidak mendaki terlalu tinggi yang juga akan membahayakan saat di pelabuhan. Karena rendah nya free board, maka disaat kapal miring resiko air masuk kedalam kapal menjadi sangat besar, apalagi jika pintu pintu tersebut tidak dirawat ke kedapannya (water tight).

3.Ramp Door
Dikarenakan sebagai akses keluar masuk kendaraan, maka ini menjadi salah satu titik lemah kapal Roro . Penting nya menjaga agar kendaran yang lewat tidak melebihi SWL dari ramp itu adalah hal yang tidak bisa ditawar. Ini penting untuk menjaga agar Ramp door tetap lurus/ tidak bengkok dan kedap air. Peranan jembatan timbang di pelabuhan untuk memeriksa truk ODOL adalah salah satu kunci kapal RoRo bisa bertahan lama atu tidak.

4.Transverse bulkhead.
Di kapal jenis lain , Palka kapal dibagi menjadi beberapa bagian dan dipisahkan oleh Bulk head (vertical). Sementara di kapal Roro hal tersebut tidak bisa dibuat, karena muatan nya tidak lah dimuat dari atas , tetapi kendaraan masuk dari belakang/ depan dan dikemudikan ke sisi depan/belakang/kiri/kanan . Inilah juga yang membuat kapal ini rawan terhadap bahaya kebakaran, dimana api bisa menjalar ke seluruh bagian kapal tanpa dihalangi Bulkhead. Sementara jika air masuk persoalannya juga sama, tidak ada sekat melintang yang membuat kapal ini cepat tenggelam jika kemasukan air.

5.Letak Alat Alat Penyelamatan
Tinggi nya letak alat keselamatan membuat penumpang dan crew sulit menjangkaunya . Disaat kapal miring, sekoci dan life raft yang bisa dipakai hanya lah di satu sisi saja (sisi kering/ yang tidak tenggelam). Untuk mencapai sekoci dan Life raft yang letaknya sangat tinggi disaat kapal miring adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh orang orang terlatih.

6.Cargo Stowage

Sulit memilih Kendaraan apa yang ideal untuk dimuat lebiih dahulu atau dimuat di lower hold atau di upper hold . Karena sifat pemuatan yang First Come First in, maka ada kamungkinan kendaraan kendaraan yang berat dimuat di titik yang lebih tinggi dari kendaraan ringan. Ini menyebabkan buruknya pengaturan stabilitas kapal.

7. Lashing muatan.
Ini adalah salah satu kegiatan yg jika tidak dilakukan akan menjadi PEMBUNUH kapal kapal jenis RoRo/Ferry. Seprti diketahui bahwa kapal ini memiliki stabilitas yang kecil, maka jika mendapat tekanan ombak/ angin maka kapal jenis ini bereaksi lambat .

Apabila kendaraan didalamnya tidak di lashing dan bergerer ke sisi yang rendah, maka ini akan menjadi seperti efek bola salju,  semakin kapal Rolling (goyang ke kiri ke kanan) maka kendaraan tersebut akan mengarah ke sisi yang rendah.  Umumnya kapal Capsize (tebalik) dikarenakan muatan yang tidak di lashing dan tambahan efek Free surface moment yang bekerja secara negatif.

Untuk mengeliminasi masalah kebakaran, IMO sendiri sudah secara khusus mengatur kapal jenis Roro dalam aturan 53 dan 54 dalam Chapter II-2 SOLAS 1974 amendemen 1989. Tambahan alat pendeteksi kebakaran beserta alarm, serta Alat Pemadam Kebakaran Permanen berupa Fix CO2 system dan Deluge System direkomendasikan sebagai pengganti kelemahan kapal yang memang tidak memiliki sekat pemisah vertikal seperti umumnya kapal lain.

Di Indonesia sayangnya tinggi kendaraan tidak dibatasi, sehingga alat pemadam Sprinkler dari Deluge system tidak bosa bekerja karena terhalang atap kendaraan.

Dari penjelasan regulasi dan teknis diatas, maka bisa disimpulkan siapapun yang mengurus kapal jenis ini harus ahli dibidangnya dan didukung oleh  regulasinya.