Kepala BPTD Pelabuhan Ketapang Dijerumuskan Oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 122 Tahun 2018 -->

Iklan Semua Halaman

Kepala BPTD Pelabuhan Ketapang Dijerumuskan Oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 122 Tahun 2018

14 Agustus 2021


Kepala syahbandar BPTD pelabuhan Ketapang ditetapkan sebagai tersangka (11/8/2021) atas kecelakaan KMP Yunice yang terjadi pada 29 Juni 2021 lalu di selat Bali, beserta kepala cabang perusahaan pemilik kapal ferry di Ketapang dan nakhoda kapal KMP Yunice. 


Masyarakat pengguna jasa harus mulai berhati hati atas sinyal bahaya ini, karena keselamatan penumpang menjadi pertaruhan dari 3 serangkai diatas sebagai elemen penentu keselamatan pelayaran;

1. Shipboard management (pihak kapal)

2. Shore base management (perusahaan)

3. Regulatory body (pemerintah) 


Nakhoda kapal dengan sadar melayarkan kapal yang sebagian dek kapalnya sudah tenggelam, pihak manajemen perusahaan menyetujui jumlah dan bobot muatan yang masuk demi keuntungan yang lebih besar, pihak pemerintah (syahbandar) tidak mengerti tugas dan tanggung jawabnya sama sekali atas kegiatan berbahaya ini. Maka sangat mudah bagi penyidik kepolisian menemukan mens rea (niatan atau guilty mind) atas kejadian tersebut pada masing-masing elemen diatas, sehingga kategori krimininal bisa terpenuhi. 


Indonesia jelas bukan Eropa, Amerika atau Jepang, dimana kapal-kapal dibuat dari baru dan dioperasikan oleh perusahaan dan nakhoda kapal yang sangat disiplin terhadap aturan. Saking baiknya kualitas kapal, kualitas nakhoda, dan disiplin perusahaan melaksanakan kewajibannya, negara-negara tersebut tidak perlu syahbandar yang mengerti teknis. Syahbandar cukup seseorang yang paham ilmu keselamatan dan bekal kursus singkat. Semua berjalan sesuai Standard Operational Procedure, tidak ada yang melakukan short cut apalagi menyalahi prosedur. 


Bagaimana di Indonesia? Apakah tidak perlu syahbandar yang mengerti teknis dengan bekal pendidikan pelaut yang kuat? Dengan kualitas kapal penyeberangan yang mayoritasnya adalah kapal bekas, nakhoda yang tidak diberikan overriding authority, serta manajemen yang tidak handal, maka kita boleh khawatir akan ada lagi korban-korban berjatuhan dimasa mendatang. Hanya perlu sedikit pemantik kecil untuk terjadinya disaster dengan multiple fatality atau bahkan catashtropic level. 


Bangunlah negaraku, sudah 76 tahun merdeka tetapi keselamatan pengguna jasa transportasi masih jauh dari kata selamat. Jangan sampai penumpang kapal terus  dijadikan tumbal atas ketidak pahaman ke 3 elemen vital diatas akan arti SOLAS (Safety Of Life At Sea), aturan yang dibuat setelah tragedi kapal Titanic. 


Untuk Bapak Menteri Perhubungan, mohon segera berikan jaminan keselamatan transportasi, khususnya kapal ferry dengan menempatkan syahbandar yang paham tugasnya dan bisa menertibkan perusahaan dan operator yang nakal. Jangan jerumuskan ASN yang tidak mengerti kapal sebagai syahbandar, kasihan hidup mereka dihantui jeruji besi setiap hari karena tidak memiliki bekal ilmu yang sepadan.


Tidak perlu ilmu tinggi untuk mengatakan bahwa kapal adanya di laut, bukan didarat. Hanya saja di Indonesia kapal penyeberangan diurus oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, bukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Maka hati-hatilah jika menumpang kapal ferry, karena kapalnya tidak memiliki rem dan kaca spion.


Ditulis oleh;

Capt Zaenal Hasibuan, a proud member of Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia