Indonesia Negara Yang Gemar Menghukum Pelaut, Pelajaran Dari Kasus KM Mathu Bhum -->

Iklan Semua Halaman

Indonesia Negara Yang Gemar Menghukum Pelaut, Pelajaran Dari Kasus KM Mathu Bhum

22 Juli 2022




Ditahannya kapal kontainer Mathu Bhum oleh Lantamal 1 Belawan sejak 4 Mei 2022 pukul 12.00 WIB tidak lama dari kapal meninggalkan dermaga pada pukul 11.35 WIB sampai hari ini masih menyisakan masalah yang tidak sederhana.


Ada 10 pihak pemesan muatan (booking party) diatas kapal tujuan Port Klang Malaysia itu dan 16 Freight forwarder yang menangani pengiriman muatan kapal. Sementara jumlah eksportir yang memiliki muatan diatas kapal itu berjumlah 84 eksportir dengan komoditas berbagai macam dari Sumatera Utara dan tujuannya adalah ke 31 negara di 4 benua.


Kapal ditahan atas dugaan pelanggaran larangan ekspor sementara produk kelapa sawit sesuai Permendag nomor 22 tahun 2022. Belakangan diketahui bahwa masalah muatan tidak ada pelanggaran sama sekali dan semestinya kapal dapat dilepas dan kembali berlayar secepatnya ke negara tujuan karena sudah ditunggu oleh para pemesan muatan. Kenyataannya kapal masih ditahan, dan menurut keterangan terdapat masalah kelaik lautan kapal dimana ada 2 orang diatas kapal yang tidak memiliki Buku Pelaut. Pertanyaannya; pantaskah kapal ditahan karena masalah buku pelaut, dan apakah memang itu tujuan penahanan kapal sesuai Permendag nomor 22 tahun 2022 Tentang Larangan Sementara Ekspor Kelapa Sawit dan Produk Turunannya?


Kurangnya koordinasi antar instansi yang bertugas sebagai penegak hukum


Ada satu hal mendasar yang harus dipahami semua pihak bahwa didalam kasus seperti ini, kapal adalah hanya sebagai Pengangkut (Carrier), bukan pengekspor ataupun sebagai pemilik barang. Maka untuk lebih jauh melihat apakah pantas seorang nakhoda kapal atau kapal disalahkan atas keabsahan dokumen muatan kapalnya, mari kita lihat Undang-undang yang mengatur tentang pelayaran niaga.


Pada pasal 40 (Tanggung Jawab Pengangkut) Undang-undang nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, definisi tanggung jawab pengangkut, disebutkan sebagai berikut;

1. Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

2. Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.


Kedua pokok dari ayat diatas cukup menjelaskan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah tentang keselamatan dan keamanan barang yang diangkutnya, bahkan semakin jelas diterangkan bahwa jenis dan jumlah muatan harus tetap sesuai dengan yang dinyatakan didalam dokumen muatan/ perjanjian kontrak pengangkutan yang telah disepakati.


Harus sama-sama kita pahami bahwa pengangkutan laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu pihak pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian tersebut menyebabkan munculnya tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran atau selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD.


Tanggung jawab pengangkut yang tertuang dalam pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008 diatas, juga diperjelas kedalam pasal 41 UU No. 17 Tahun 2008 yang tertulis sebagai berikut:

1. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat

Pengoperasian kapal, berupa:

a) Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;

b) Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;

c) Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau

d) Kerugian pihak ketiga

2. Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

3. Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.


Sama sekali tidak disebut bahwa pengangkut atau nakhoda bertanggung jawab atas penerbitan dokumen muatan. Penerbitan dokumen muatan dilakukan didarat  diawali dengan pemeriksaan barang atas jumlah dan jenis agar sesuai dengan aturan pemerintah. Badan negara yang bertugas melakukan pemeriksaan jumlah dan jenis barang yang akan dimuat dikapal adalah Pabean (Bea Cukai/ Customs). Sebenarnya pemeriksaan atas muatan yang telah memiliki dokumen resmi negara yang diterbitkan Bea Cukai cukup mengkonfirmasi ulang ke instansi terkait. Ini penting dilakukan agar penegak hukum di Indonesia berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling kordinasi. Untuk dunia internasional, tentu hal ini sangat janggal dan mereka bukannya tidak memahami aturan CIQP yang berlaku karena hal tersebut merupakan praktek yang umum di belahan dunia manapun. Inilah masalah yang selalu terjadi di perairan Indonesia, tidak adanya kordinasi karena keberadaan Coast Guard sampai hari ini tidak ada kejelasannya.


Pertanggung jawaban pengangkut ini juga telah diatur dalam The Hague Rules 1924 artikel 1 (2) dan  The Hamburg Rules 1978 artikel 4, yang pada intinya menerangkan hal yang sama tentang pertanggung jawaban pengangkut. Sama sekali tidak disebut bahwa kapal (pengangkut) bertanggung jawab atas penerbitan dokumen muatan dan bisa di tahan atas dasar dugaan ada ketidak sesuaian dokumen muatan.


Jika ada muatan yang memang tidak sesuai dengan manifest, langkah terbaik adalah turunkan muatan tersebut dan periksa kembali siapa pemiliknya, pengirimnya dan pemesannya. Apabila kapal dan awaknya tidak menjadi bagian dari pelanggaran tersebut, maka kapal segera dilepas.


Kewenangan Atributif Keselamatan Pelayaran


Pemerintah Indonesia membuat Undang Undang Pelayaran nomor 17 tahun 2008 dan mengamanahkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sebagai pemegang atribut kewenangan atas Keselamatan Pelayaran Niaga. Hal ini sejalan dengan International Maritim Organization (IMO) sebagai badan dunia yang mengurus pelayaran niaga, dimana Indonesia sebagai negara anggota harus menunjuk organ pemerintah menjadi Administration pelaksanaan seluruh konvensi yang telah diratifikasi.


Bahwa didalam pasal 282 ayat 1 Undang Undang Pelayaran menyebutkan Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, tetap harus memperhatikan bahwa ada bagian pemerintah yang diatribusikan secara khusus lewat Undang Undang 17 ini, terutama menyangkut Keselamatan Pelayaran dan Perlindungan Lingkungan Maritim, yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Jadi sifat kekhususan (Lex Specialis) Undang Undang Pelayaran yang mengatribusikan Ditjen Hubla sebagai bagian dari pemerintah yang secara khusus ditunjuk tidak boleh dimentahkan oleh pihak lainnya. 


Salah satu kendala Indonesia dalam menarik investor adalah tidak adanya kepastian hukum di perairan Indonesia. Buat mereka perairan Indonesia mirip seperti War Zone, kapal yang mengantongi ijin negara pun masih belum tentu diakui instansi lainnya dan bisa ditahan.


Sebagai info, bahwa kegiatan ekspor dan impor Indonesia masih menggunakan kapal asing dengan presentase diatas 90%. Jadi jika kapal-kapal itu meninggalkan perairan ini, bahaya buat Indonesia, tidak ada devisa dari ekspor, tidak ada barang yang bisa diimpor.


Kilas Balik


Kita pernah dihebohkan dengan penahanan kapal tanker MT Horse berbendera Iran dan kapal tanker MT Freya berbendera Panama yang ditahan 4 bulan. Dari berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada mereka, pada akhirnya kapal dibebaskan dengan hukuman sanksi kurungan masa percobaan 2 tahun tanpa denda yang berarti sang Nakhoda tetap bisa berlayar bersama kapalnya.


Juga tongkang Ever Carrier yang pada awalnya ditahan karena dugaan kesalahan dokumen muatan (Produk Sawit), dan akhirnya nakhoda tug boat Ever Sunrise yang mendapat hukuman karena masalah alat keselamatan diatas tongkang yang ditariknya. Kalau mau jujur, masalah-masalah ini adalah persoalan salah tembak, dimana nakhoda kapal yang dijadikan pesakitan walau pada awalnya adalah tuduhan masalah lain.


Kemampuan menganalisa persoalan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim secara spesifik ada di Ditjen Hubla, mereka memiliki sumber daya manusia dan organisasi yang secara khusus menangani itu. Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2022 dan juga Peraturan Menteri Perhubungan nomor 110 tahun 2016 secara spesifik menyebut bahwa Marine Inspektor adalah orang-orang yang secara khusus dididik dan disertifikasi serta mempunyai kualifikasi dan keahlian dibidang keselamatan kapal.


Mari menjadi tuan rumah yang baik, tegas, bermartabat, dan paham aturan main. Agar cita-cita menjadi poros maritim dunia minimal bisa sedikit tercapai, karena untuk menjadi poros maritim yang sebenarnya membutuhkan banyak hal yang bersifat kebijakan nasional dibawah 1 komando. Indonesia secara nyata membutuhkan Coast Guard yang sampai hari ini masih menjadi rebutan antara Bakamla dan Hubla. Kembali lagi kepada kewenangan atributif tadi, kita lihat siapa yang diatribusikan Undang Undang untuk menjadi Coast Guard agar kasus salah tembak tidak terulang ladi di Indonesia. Jangan jadikan pelaut sebagai kambing hitam jika target yang dijadikan persoalan ternyata tidak tepat sasaran.