Pengerukan Pasir Laut di Indonesia: Kebijakan dan Dampak Lingkungan yang Menimbulkan Kontroversi -->

Iklan Semua Halaman

Pengerukan Pasir Laut di Indonesia: Kebijakan dan Dampak Lingkungan yang Menimbulkan Kontroversi

Ananta Gultom
18 Juli 2023
Ilustrasi foto


Jakarta, eMaritim - Pertumbuhan industri pengerukan pasir laut di Indonesia diproyeksikan akan mencapai tingkat tahunan sebesar 2,1 persen dari tahun 2012 hingga 2030. Data dari Kementerian Perikanan menunjukkan bahwa rata-rata tangkapan total selama lima tahun terakhir adalah 7 juta ton metrik setiap tahun, dengan nilai mencapai hingga 140 triliun rupiah (US$9,2 miliar).



Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi untuk Keadilan Perikanan, menyoroti dampak buruk dari pengerukan pasir laut. 


Menurut Susan, aktivitas menggali pasir laut dari dasar laut berpotensi merusak kesehatan laut, terutama dalam hal perubahan arus dan pengaruhnya terhadap gelombang, serta meningkatkan risiko abrasi pesisir. 


Dalam berbagai lokasi di Indonesia, aktivitas pengerukan pasir laut ini juga telah menimbulkan kerusakan bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Sebagai contoh, di provinsi Sulawesi Selatan, aksi pengerukan di wilayah mereka telah menyebabkan perlawanan sengit dari para nelayan setempat. 


Komunitas nelayan tersebut menyatakan bahwa aktivitas pengerukan telah mengganggu area penangkapan ikan tradisional, menyebabkan penurunan hasil tangkapan hingga dua pertiga sejak pengerukan dimulai pada Februari 2021. "Tidak ada jenis ekstraksi sumber daya alam yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan," ungkap Susan.



Sebelumnya, pada tahun 2003, Indonesia telah melarang ekspor pasir laut, meskipun pengerukan pasir tetap diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 


Pada tahun 2007, kebijakan tersebut diperkuat guna mengatasi pengiriman ilegal pasir laut, terutama ke Singapura yang telah membangun pulau-pulau utuh menggunakan pasir dari Indonesia. 


Kini, Kementerian Perikanan berencana untuk menerbitkan dekrit yang menguraikan langkah-langkah lebih ketat dalam perlindungan lingkungan guna memastikan habitat laut tidak hancur akibat pengerukan pasir laut. 


Kementerian ini akan membentuk tim studi yang terdiri dari pejabat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta melibatkan akademisi dan kelompok lingkungan independen untuk mencari lokasi potensial pengerukan. 


Tim ini akan menilai apakah pasir laut di lokasi tersebut terbentuk secara alami, kemudian mengalokasikan pasir tersebut untuk kebutuhan dalam negeri atau ekspor.



Data dari NGO lingkungan Indonesia, Auriga Nusantara, menunjukkan bahwa pemerintah telah mengeluarkan 141 izin pengerukan laut untuk 118 perusahaan, mencakup total area seluas 131.157 hektar, dua kali lebih besar dari wilayah Jakarta. 


Selain itu, Indonesia juga memiliki proyek reklamasi seluas 3,5 juta hektar. Pada tahun 2021, Kementerian Perikanan memperkirakan sebanyak 1,87 juta meter kubik pasir diperlukan untuk memasok proyek reklamasi di seluruh negeri. 


Proyek reklamasi ini bertujuan untuk meniru kesuksesan Singapura yang sebelumnya telah memperluas wilayahnya hingga 20 persen dari tahun 1965 hingga 2017 melalui proyek reklamasi, dan berencana untuk kembali meningkatkan luas wilayahnya hingga 30 persen pada tahun 2030.



Para ahli lingkungan, termasuk Parid Ridwanuddin, manajer pesisir dan kelautan di Walhi, kelompok advokasi lingkungan terbesar di Indonesia, mengekspresikan keprihatinan atas dampak resmi dibukanya kembali ekspor pasir laut ini. 


Menurutnya, kebijakan ini kemungkinan akan memberikan manfaat bagi kepentingan asing dengan mengorbankan nelayan lokal dan masyarakat pesisir Indonesia. 


Ia juga mengkhawatirkan bahwa China, yang sedang membangun pulau-pulau baru di Laut China Selatan untuk mendukung klaim wilayah yang dipersengketakan, dapat memanfaatkan kebijakan ini. 


Ia berpendapat bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan ancaman tenggelamnya desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.



Dengan perdebatan yang semakin sengit, implementasi kebijakan pengerukan pasir laut ini tetap menjadi perhatian khusus bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan di Indonesia.

Sumber: eco-business.com